BAB II
PEMBAHASAN
QS. AL-ANKABUT
: 45
MANFAAT MELAKSANAKAN
SHALAT
A.
Terjemah QS. Al-Ankabut : 45
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
“Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu daripada al-Kitab dan dirikanlah shalat; sesungguhnya
shalat itu mencegah dari yang keji dan yang munkar. Dan sesungguhnya ingat akan
Allah itu adalah lebih besar. Dan Allah Mengetahui apa pun yang kamu perbuat.” (QS.
Al-Ankabut : 45)
B.
Tafsir Ayat
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, daripada al-Kitab dan
dirikanlah shalat.”
Pada pangkal ayat ini, Rasulullah diberi tuntunan
oleh Tuhan bagaimana caranya memperteguh jiwa menghadapi tugas yang berat
(melakukan dakwah kepada manusia). Yaitu (1) Hendaklah dia selalu membaca,
merenungkan, dan memahami isi dari wahyu-wahyu yang diturunkan Tuhan kepadanya.
(2) Hendaklah mendirikan shalat. Pada kalimat selanjutnya dari ayat ini adalah
“… Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang keji dan yang mungkar…”
yang telah disebutkan secara jelas bahwa shalat yang kita kerjakan lima waktu
itu (subuh, zuhur, ashar, magrib, dan isya) dapat membentengi kita dari perbuatan
yang keji, seperti berzina, merampok, merugikan orang lain, berdusta, menipu
dan segala perbuatan mungkar –yang dapat celaan dari masyarakat—karena shalat
mengandung berbagai macam ibadat, seperti takbir, tasbih, berdiri di hadapan
Allah, ruku’ dan sujud dengan kerendahan hati, seraya pengagungan, lantaran di
dalam ucapan dan perbuatan shalat terdapat isyarat untuk meninggalkan kekejian
dan kemungkaran.[1] Rasulullah pernah ditanya
tentang tafsir ayat “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang keji dan
yang mungkar.” Dan jawaban Rasulullah adalah “Barangsiapa yang shalatnya
tidak dapat mencegahnya daripada yang keji dan mungkar, maka tidaklah ada shalat
baginya.”
Ada
beberapa diantara kita yang kerap berdalih dengan mengatakan bahwa “jika kita telah berbuat baik kepada sesama,
apa kita masih perlu utuk shalat?” dalih ini adalah dalih yang menyesatkan
dan tidak bertanggung jawab. Sungguh ini adalah perkataan syetan karena
seandainya demikian maka rasul tidak perlu lagi melakssanaka shalat karena
beliau adalah orang yang terbaik sedunia.
Sambungan ayat ini adalah “… Dan sesungguhnya
ingat akan Allah itu adalah lebih besar…” Maksudnya adalah shalat merupakan
gabungan dari amalan kita yang zahir, yang di dalam ilmu fiqh disebut rukun
fi’li yang artinya bagian yang kita perbuat dalam mendirikan shalat. Sejak
berdiri tegak menghadap kiblat, memasang niat, melafalkan takbir, membaca
segala yang patut dibaca, ruku’, sujud, i’tidal, duduk antara dua sujud, sampai
tahiyyat terakhir dan sampai salam. Tetapi semua itu menjadi kecil dan tidak
berarti jika dalam mengerjakan shalat tersebut, kita tidak mengingat Allah.
Maka ingat kepada Allah itulah yang terpenting atau paling besar dalam
sembahyang.
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa pada shalat itu
hendaklah dilatih mendirikan tiga keistimewaan, yaitu: (1) Ikhlas, artinya
semata-mata satu saja tujuan, yaitu karena Allah. (2) Khasyyah, artinya takut
amalan itu tidak akan diterima Allah. (3) Dzikrullah, artinya ingat kepada
Allah dalam hati disertai dengan sebutan mulut. Ia mengatakan bahwa ikhlas
mendorong kita berbuat yang ma’ruf. Khasyyah mencegah kita berbuat yang
mungkar. Dzikrullah dalam shalat adalah seluruh ayat-ayat al-Qur’an dan bacaan
anjuran Nabi yang dibaca. Zikir akan menyuruh yang baik dan melarang yang
mungkar.[2]
Kalimat selanjutnya yang terakhir adalah “… Dan
Allah Mengetahui apapun yang kamu perbuat.” Maksud dari penggalan terakhir
arti dari ayat ini adalah bahwa kita tidak lepas dari penglihatan Allah. Allah
mengetahui kebaikan dan keburukan yang kita perbuat, maka Ia akan membalasnya
sesuai dengan amal yang telah kita perbuat. Jika baik maka, baik balasannya dan
jika buruk, maka buruk pula balasannya.[3]
Kata ( اتل ) ‘utlu’ terambil dari kata (
تلاوة ) ‘tilawah’ yang pada mulanya berarti mengikuti. Seorang yang
membaca adalah seorang yang hati atau lidahnya mengikuti apa yang terhidang
dari lambang-lambang bacaan, misalnya aba (kita membaca huruf satu demi satu
hingga lahirlah bacaan aba). Al-Qur’an membedakan penggunaan kata ini dengan dengan
kata ( قراة ) ‘qiraah’ yang juga mengandung pengertian yang sama. Kata
tilawah, jika yang dmaksud adalah membaca, maka objek bacaan adalah sesuatu
yang agung dan suci, atau benar. Sedangkan qiraah, maka objeknya lebih
umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya boleh jadi positif atau
negatif. Oleh karena objek di atas adalah wahyu, maka dari itu ayat ini
menggunakan kata utlu yang artinya ikuti –secara harfiah—untuk
mengisyaratkan bahwa apa yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan pengamalan.
Kata ( الفحشاء ) ‘al-fahsya`a’ terulang di
dalam al-Quran sebanyak 7 kali. Sedang kata munkar terulang sebanyak 15
kali. Menurut kamus bahasa al-Qur’an, al-fahsya`a terambil dari akar
yang pada mulanya berarti sesuatu yang melampaui batas dalam keburukan dan
kekejian, baik ucapan maupun perbuatan.
Kata ( المنكر ) ‘al-munkar’ pada mulanya
berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak
disetujui. Itulah sebabnya al-Quran memperhadapkan kata ‘mungkar’ dengan
kata ‘ma’ruf’ yang berarti dikenal. Sementara ulama mendefinisikan
kata-kata munkar, dari segi pandangan syariat adalah segala sesuatu yang
melanggar norma-norma agama dan adat istiadat satu masyarakat. Dari definisi
ini kata munkar lebih luas pengertiannya dari kata ma’shiyat/maksiat.
Dari ayat yang menggandengkan kata al-fahsya’ dan al-munkar dapat
disimpulkan bahwa Allah melarang manusia melakukan segala macam kekejian dan
pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, dan shalat mempunyai peranan yang
sangat besar dalam mencegah kedua bentuk keburukan itu bila dilaksanakan secara
sempurna dan bersinambung.
Menurut Ibn ‘Asyur, kata ( تنهى ) tanha/melarang
lebih tepat dipahami dalam arti majdzi, sehingga ayat ini mempersamakan
apa yang dikandung oleh shalat, dengan “larangan”, dan mempersamakan shalat
dengan segala kandungan dan substansinya dengan seorang yang melarang. Shalat
mengandung sekian banyak hal yang mengingatkan kepada Allah, sehingga shalat
merupakan pemberi ingat kepada yang shalat. Shalatlah yang nantinya melarang melakukan
pelanggaran yang tidak diridhoi Allah. Karena itu pada ayat ini tidak
menggunakan kata ( يصدّ ) yashuddu/membendung dan tidak pula menggunakan
kata ( يحول ) yahulu/meghalangi, tetapi menggunakan kata ( ينهى ) yanha/melarang.
Dan karena itulah waktu shalat diatur berbeda-beda agar berulang-ulang shalat
tersebut melarang, menasihati dan mengingatkan, dan sebanyak pengulangannya
sebanyak itu pula tambahan kesan ketakwaan dalam hati pelakunya serta sebanyak
itu pula kejauhan jiwanya dari kedurhakaan.
Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satu perintah
melaksanakan shalat atau pujian kepada yang melaksanakan kegiatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri salam itu, kecuali dibarengi dengan kata ( اقيموا ) aqimu
atau yang seakar dengannya. Sedangkan jika berbicara tentang mereka yang
mendustakan agama wajarlah jika mendapatkan neraka, ditunjukkannya orang-orang
shalat itu dengan kata ( المصلّين ) al-mushallin. Kata yang pertama itu
mengandung makna mengerjakan shalat secara berkesinambungan dan menaati syarat-syaratnya
serta rukun-rukunnya. Sedangkan kata yang kedua maksudnya adalah kalaupun
mengerjakan shalat, tetapi shalat mereaka tidak khusyu’ sehingga tidak sempurna
dan tidak mengikuti syarat serta rukunnya.
Kata ( ذكر ) dzikr digunakan dalam arti
potensi dalam diri manusia yang menjadikannya mampu memelihara pengetahuan yang
dimilikinya. Shalat dinamai dzikr karena dalam shalat mengandung ucapan-ucapan
serta ayat-ayat al-Qur’an yang harus diucapkan. Tujuannya adalah untuk
mengingat Allah. Ada yang memahami ayat ini dalam arti sesungguhnya dzikir dan
“ingatan” Allah terhadapmu lebih besar dan lebih banyak daripada dzikir manusia
kepada Allah. Ada juga yang memahami kata dzikir ini dalam arti “mengingat
semua perintah dan larangan Allah” sehingga maknanya adalah pengawasan melekat
yang mendorong kepada ketaatan secara sempurna.
Yang terakhir adalah kata ( تصنعون ) tashna’un
digunakan untuk menunjuk perbuatan yang dilakukan seseorang yang mahir dan
terampil. Menurut al-Biqa’i, shalat dan amal saleh memerlukan latihan kejiwaan
dan pengulangan pengamalan agar ia menjadi kebiasaan yang melekat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat saya simpulkan bahwa kita
diperintahkan untuk mengerjakan shalat, karena sesungguhnya shalat itu mencegah
perbuatan keji dan mungkar, dan shalat itu merupakan ibadah yang paling besar,
sesungguhnya Allah mengetahui setiap apa yang kita perbuat.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, kita bisa menjadi
hamba Allah yang beriman dan bertakwa dan tidak lupa mengerjakan shalat. Amin
C. Ikhtibar
Dari
uraian diatas, kita dapat ambil pelajaran bahwa shalat itu merupakan ibadah
yang paling besar, dan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan apabila
shalat itu tidak dapat menghentikanya melakukan perbuatan keji dan mengkar,
berarti shalatnya masih dipertanyakan. Untuk itu marilah kita shalat dengan
sebaik-baiknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa.
1986. Terjemah Tafsir Maraghi. Semarang : CV. Toha Putra.
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim.
1988. Tafsir Al-Azhar. Jakarta : PT. Pustaka Panjimas
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir
Al-Mishbah. Tangerang : Lentera Hati.
[1]
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah
Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1986), hlm. 252.
[2]
Prof. Dr. H. Abdulmalik
Abdulkarim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas,
1988), hlm. 4-5.
[3]
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah
Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1986), hlm. 253.
No comments:
Post a Comment